semua kata rindumu
semakin membuatku tak berdaya
menahan rasa ingin jumpa
percayalah padaku aku pun rindu kamu
ku akan pulang
menyimpan semua
kerinduan yang terpendam
(dewa 19; kangen)
Mengenang keruntuhan khilafah tapi tidak untuk terus disesali namun diperjuangkan upaya penegakkannya kembali.......
Kangen. Rindu. Satu kondisi kala kita tak bersua dengan yang kita cinta. Jarak dan waktu memberikan nuansa lain pada hati, suatu rongga yang butuh diisi dan satu-satunya yang mampu mengisi hanyalah yang dirindui, yang dikangeni.
Bagi sang kekasih, rindu adalah siksaan yang indah. Mengangankan dia setiap saat, menguraikan benang waktu dalam sepersekian detik yang terasa bertahun-tahun. Menghitung elastisitas masa untuk sekedar bersua dengannya. Menapaki hari dengan secercah asa untuk menjemput rindu dengannya. Yach... hanya dengannya. Pelukan mesra dan hangat kala berjumpa setelah sekian lama berpisah, seakan enggan untuk dilepas. Air mata haru kerinduan menetes lembut di pipi, merangkul sang tercinta kembali.
Bagi pengembara, kerinduan adalah keinginan untuk pulang. Kampung halaman yang memahat jiwanya tak mungkin terlupa. Melepas canda ria dengan sanak saudara, handai taulan, karib kerabat, semua terasa begitu indah. Tapi apa daya, diri masih nun jauh di perantauan, hasrat ingin bersua pun harus tertunda. Maka basahlah rindu itu, kangen yang butuh dituntaskan terpaksa harus dientaskan lebih dulu.
Bagi kapal yang berlayar, rindu adalah hasrat tuk berlabuh. Tak harus pantai indah yang menawan hati, cukup daratan kering sebagai tempat untuk berbaring. Kala sauh telah di permainkan angin dan ombak dan tiangpun telah goyah menyangga layar agar tetap berkembang serta kabinpun telah basah oleh sapuan samudra, maka berlabuh adalah kerinduan yang penuh.
Dan bagi pejuang, kerinduan adalah hasrat tuk berkorban. Menyerahkan seluruh jiwa raga tanpa imbalan. Memberikan seluruh yang terbaik demi perjuangan. Dan jiwa ini di sini, rindu untuk pulang. Menuju satu rumah teduh sederhana tapi menjanjikan kenyamanan sejati. Tatkala kembara jiwa menyusuri gersangnya jalan, menggapai sebuah cita-cita dan impian, kangen untuk pulang menjadi suatu keniscayaan.
Ketika debu-debu duniawi mengotori hati, mengaratkan nurani, menjadikannya caci maki, maka sungguh, kerinduan untuk pulang begitu kental. Bayangan satu sosok rumah yang hangat dan nyaman, lengkap dengan penghuninya yang menyejukkan hati, tempat berbaring dari rasa lelah, makanan yang menggugah selera, semua itu hanya membuat kangen semakin membuncah. Tapi apa daya, tugas suci belum tertunaikan. Belum saatnya untuk pulang. Cita-cita masih di awan, namun dengan keyakinan membuncah ia kan jadi hujan. Masih harus tertunda sekian demi sekian, meski rindu itu semakin meradang. Lantunan merdu menyapa, ibarat aliran mata air, dalam beningnya jiwa, menyelusup lembut menyapa sukma, menjernihkan hati dan akal, kangen itu semakin terasa. Apalagi bila malam tiba, langit dan bumi tertunduk pasrah. Seluruh rasa terasa membuncah, membalur segenap jiwa, tumpah ruah tanpa sisa.
Yach... aku memang sedang merindu. Kangen dengan kerinduan yang pernah aku punya. Dulu, satu kala yang hampir aku lupa. Kerinduan masa lalu yang lengkap dengan romantika. Mengajariku memaknai cinta yang sebenarnya. Menuntunku mulai memahami perbedaan dalam cinta. Menceburkanku dalam makna islam kaffah.
Rindu... Yach... sebuah kerinduan terhadap 88 tahun lamanya. Bukan tentang masa yang sebentar. Apalagi ketika dalam perjalanannya bertambal luka, nanah, air mata, darah bahkan nyawa. Kerinduan yang semakin terlupa, penuh dengan fitnah. Belum lagi terhadang mereka yang membawa pedang kata-kata demi meruntuhkan sebuah kerinduan yang belum menemukan sebuah muaranya. Namun, adakah yang sanggup membendung bara api rindu itu?
Ketika ia mulai bergulir menuju titik ujung sana, berputar erat dalam satu poros yang sama, mendekap asa yang terus ada, mengikatnya dalam satu rasa. Sungguh, adakah satu cara menuntaskan kangen yang tertunda? Kecuali mendekapnya penuh cinta kala bersua, mendampinginya setiap masa dan tak hendak berpisah serta membaktikan tiap detik untuk bersamanya.
Dan bilapun kangen itu belum sempat tertunaikan, maka biarlah anak dan cucu yang kelak akan menuntaskannya. Biarlah ia menjadi tongkat estafet hingga lunas terbayar tuntas. Karena aku adalah sang kekasih yang merindu tercintanya, seorang pengembara yang merindu kampung halamannya, sebuah kapal yang berlayar merindu tempat tambatannya dan seorang pejuang yang menuju ke satu titik karena dorongan cinta dan asa; "SYARIAH DALAM NAUNGAN KHILAFAH"...
Dan sungguh, aku sedang merindu.....
Bagi sang kekasih, rindu adalah siksaan yang indah. Mengangankan dia setiap saat, menguraikan benang waktu dalam sepersekian detik yang terasa bertahun-tahun. Menghitung elastisitas masa untuk sekedar bersua dengannya. Menapaki hari dengan secercah asa untuk menjemput rindu dengannya. Yach... hanya dengannya. Pelukan mesra dan hangat kala berjumpa setelah sekian lama berpisah, seakan enggan untuk dilepas. Air mata haru kerinduan menetes lembut di pipi, merangkul sang tercinta kembali.
Bagi pengembara, kerinduan adalah keinginan untuk pulang. Kampung halaman yang memahat jiwanya tak mungkin terlupa. Melepas canda ria dengan sanak saudara, handai taulan, karib kerabat, semua terasa begitu indah. Tapi apa daya, diri masih nun jauh di perantauan, hasrat ingin bersua pun harus tertunda. Maka basahlah rindu itu, kangen yang butuh dituntaskan terpaksa harus dientaskan lebih dulu.
Bagi kapal yang berlayar, rindu adalah hasrat tuk berlabuh. Tak harus pantai indah yang menawan hati, cukup daratan kering sebagai tempat untuk berbaring. Kala sauh telah di permainkan angin dan ombak dan tiangpun telah goyah menyangga layar agar tetap berkembang serta kabinpun telah basah oleh sapuan samudra, maka berlabuh adalah kerinduan yang penuh.
Dan bagi pejuang, kerinduan adalah hasrat tuk berkorban. Menyerahkan seluruh jiwa raga tanpa imbalan. Memberikan seluruh yang terbaik demi perjuangan. Dan jiwa ini di sini, rindu untuk pulang. Menuju satu rumah teduh sederhana tapi menjanjikan kenyamanan sejati. Tatkala kembara jiwa menyusuri gersangnya jalan, menggapai sebuah cita-cita dan impian, kangen untuk pulang menjadi suatu keniscayaan.
Ketika debu-debu duniawi mengotori hati, mengaratkan nurani, menjadikannya caci maki, maka sungguh, kerinduan untuk pulang begitu kental. Bayangan satu sosok rumah yang hangat dan nyaman, lengkap dengan penghuninya yang menyejukkan hati, tempat berbaring dari rasa lelah, makanan yang menggugah selera, semua itu hanya membuat kangen semakin membuncah. Tapi apa daya, tugas suci belum tertunaikan. Belum saatnya untuk pulang. Cita-cita masih di awan, namun dengan keyakinan membuncah ia kan jadi hujan. Masih harus tertunda sekian demi sekian, meski rindu itu semakin meradang. Lantunan merdu menyapa, ibarat aliran mata air, dalam beningnya jiwa, menyelusup lembut menyapa sukma, menjernihkan hati dan akal, kangen itu semakin terasa. Apalagi bila malam tiba, langit dan bumi tertunduk pasrah. Seluruh rasa terasa membuncah, membalur segenap jiwa, tumpah ruah tanpa sisa.
Yach... aku memang sedang merindu. Kangen dengan kerinduan yang pernah aku punya. Dulu, satu kala yang hampir aku lupa. Kerinduan masa lalu yang lengkap dengan romantika. Mengajariku memaknai cinta yang sebenarnya. Menuntunku mulai memahami perbedaan dalam cinta. Menceburkanku dalam makna islam kaffah.
Rindu... Yach... sebuah kerinduan terhadap 88 tahun lamanya. Bukan tentang masa yang sebentar. Apalagi ketika dalam perjalanannya bertambal luka, nanah, air mata, darah bahkan nyawa. Kerinduan yang semakin terlupa, penuh dengan fitnah. Belum lagi terhadang mereka yang membawa pedang kata-kata demi meruntuhkan sebuah kerinduan yang belum menemukan sebuah muaranya. Namun, adakah yang sanggup membendung bara api rindu itu?
Ketika ia mulai bergulir menuju titik ujung sana, berputar erat dalam satu poros yang sama, mendekap asa yang terus ada, mengikatnya dalam satu rasa. Sungguh, adakah satu cara menuntaskan kangen yang tertunda? Kecuali mendekapnya penuh cinta kala bersua, mendampinginya setiap masa dan tak hendak berpisah serta membaktikan tiap detik untuk bersamanya.
Dan bilapun kangen itu belum sempat tertunaikan, maka biarlah anak dan cucu yang kelak akan menuntaskannya. Biarlah ia menjadi tongkat estafet hingga lunas terbayar tuntas. Karena aku adalah sang kekasih yang merindu tercintanya, seorang pengembara yang merindu kampung halamannya, sebuah kapal yang berlayar merindu tempat tambatannya dan seorang pejuang yang menuju ke satu titik karena dorongan cinta dan asa; "SYARIAH DALAM NAUNGAN KHILAFAH"...
Dan sungguh, aku sedang merindu.....
[ pahlawan_bertopeng ]
0 komentar:
Posting Komentar