Oleh : Ujang Pebidiansyah
Dari banyak kontradiksi tersebut, penulis ingin menyampaikan salah satu kesalahan demokrasi yang sering dijumpai disetiap negara yang menerapkannya. Salah satunya demokrasi menjamin penganutnya untuk membuat hukum berdasarkan suara mayoritas. Dalam Kitab Syura Laa Ad-Dimuqrathiyah, Adnan ‘Aly Ridha An-Nahwy mengatakan bahwa dalam kehidupan dunia, kebenaran (pendapat) tidaklah diukur dan ditetapkan oleh sedikit atau banyaknya jumlah orang yang melakukannya. Tetapi kebenaran itu harus diukur dan ditetapkan oleh kaidah-kaidah, prinsip-prinsip, dan manhaj rabbani yang diturunkan dari langit. Firman Allah SWT :
“Sesungguhnya (Al-Qur`an) itu benar-benar dari Tuhanmu, tetapi kebanyakan manusia tidak beriman.” (QS.Huud [11] : 17)
Selanjutnya ‘Adnan ‘Aly Ridha An-Nahwy berkata :
“Kebenaran bukan ditetapkan oleh suara mayoritas, sekalipun yang menang tersebut kaum muslimin. Juga, ukuran kebenaran bukan ditentukan oleh kongres atau parlemen yang mengacungkan dan menurunkan tangan berdasarkan hawa nafsu yang mengakibatkan kehancuran bangsa tersebut. Islam telah memiliki manhaj rabbani, satunya-satunya pelindung bagi manusia walau dalam keadaan berbeda dan saling silang pendapat.”
Dari sinilah, maka para shalaf ash-shaleh tatkala menafsirkan kata al-jama’ah –yang termaktub dalam hadits Nabi SAW-- dengan makna konsisten (iltizaam) dalam kebenaran (al-haq) walau Anda seorang diri.
Senada dengan apa yang disampaikan Adnan ‘Aly Ridha An-Nahwy, Abu Syamah dalam kitabnya Al-Baa’its pernah menulis:
“Ketika datang perintah untuk menetapi jama’ah, yang dimaksud adalah tetap konsisten dalam kebenaran (al-haq) dan selalu mengikutinya, walaupun orang yang berpegang teguh pada kebenaran sangat sedikit dan para penentangnya sangat banyak. Karena kebenaran (al-haq) itulah yang dipegang oleh jama’ah yang pertama, yaitu Rasulullah SAW dan para shahabat RA, tanpa melihat lagi banyaknya pengikut kebatilan.”
Tatkala Abdullah bin Mubarak ditanyakan kepadanya mengenai maksud dari kata al-jama’ah, beliau menjawab,”Abu Bakar dan ‘Umar.” Lalu beliau ditanya lagi seandainya keduanya telah wafat, beliau menjawab,”Si Fulan dan si Fulan.” Kemudian ditanyakan lagi kepadanya seandainya si Fulan dan si Fulan wafat. Beliau menjawab.”Abu Hamzah Al-‘Askary itulah jama’ah.”
Imam Al-Bukhari menafsirkan kata al-jama’ah dengan makna orang yang pakar dalam fiqh (ahl al-fiqh) dan ulama (ahl al ‘ilm). Beliau berkata dalam Bab [Demikianlah Allah menjadikan kalian umat yang adil (ummatan wasathan)], “Apa yang diperintahkan oleh Rasulullah SAW untuk mengikuti jama’ah, maksudnya adalah mengikuti ahlul ‘ilmi.”
Imam At-Tirmidzi berkata mengenai tafsir dari kata jama’ah :
“Menurut ahlul ‘ilmi yang dimaksud dari kata jama’ah adalah ulama yang memiliki kedalaman ilmu (ahl al ‘ilm), pakar dalam fiqh (ahl al fiqh), dan pakar dalam hadits (ahl al hadits)”.
Ibnu Sinan menafsirkan al-jama’ah adalah orang yang memiliki kedalaman ilmu (ahl al ‘ilm) dan para ahli hadits (ash-haabul atsar).
Walaupun ulama berbeda pendapat mengenai tafsir dari kata al-jama’ah tetapi mereka semua kembali pada makna yang satu, yaitu siapa saja yang meneladani keadaan dan hal ihwal Rasulullah dan para sahabat. Sama saja apakah jumlah mereka sedikit ataupun banyak, walaupun umat berbeda-beda dalam kondisi, tempat dan zamannya. Karena itu Abdullah bin Mas’ud berkata mengenai kata al-jama’ah, “Apa saja yang sesuai dengan kebenaran (al-haq) walaupun Anda seorang diri.” Dalam lafadz lain, al-jama’ah adalah “Apa saja yang sesuai dengan ketaatan kepada Allah walau Anda dalam keadaan seorang diri.”
*) Dikutip dari kitab Ad Damghah Al Qawwiyah li Nasfi Aqidah Ad Dimuqrathiyah
0 komentar:
Posting Komentar