Bismillah…
***
Pada perang Tabuk, ada beberapa sahabat yang tidak berangkat berperang. Salah satu di antar mereka. Salah satu di antara mereka adalah Ka’ab bin Malik. Marilah kita dengarkan cerita Ka’ab yang menunjukkan kejujuran imannya, usai turunnya pengampunan Allah atas dosanya.
“Aku sama sekali tidak pernah absen mengikuti semua peperangan bersama Rasululah saw, kecuali dalam perang Tabuk. Perihal ketidakikutsertaanku dalam perang Tabuk itu adalah karena kelalaian diriku terhadap perhiasan dunia, ketika itu keadaan ekonomiku jauh lebih baik daripada hari-hari sebelumnya. Demi Allah, aku tidak pernah memiliki barang dagangan lebih dari dua muatan onta, akan tetapi pada waktu peperangan itu aku memikinya.
Sungguh, tidak pernah Rasullah saw. merencanakan suatu
peperangan melainkan beliau merahasiakan hal itu, kecuali pada perang Tabuk
ini. Peperangan ini, Rasulullah saw. lakukan dalam kondisi panas terik matahari
gurun yang sangat menyengat, menempuh perjalanan nan teramat jauh, serta
menghadapi lawan yang benar-benar besar dan tangguh. Jadi, rencananya jelas
sekali bagi kaum muslimin untuk mempersiapkan diri masing-masing menuju suatu
Rasulullah saw. mempersiapkan pasukan yang akan
berangkat. Aku pun mempersiapkan diri untuk ikut serta, tiba-tiba timbul
pikiran ingin membatalkannya, lalu aku berkata dalam hati, “Aku bisa
melakukannya kalau aku mau!” Akhirnya, aku terbawa oleh pikiranku yang
ragu-ragu, hingga para pasukan kaum muslimin mulai meninggalkan Madinah. Aku
lihat pasukan kaum muslimin mulai meninggalkan Madinah, maka timbul pikiranku
untuk mengejar mereka, toh mereka belum jauh. Namun, aku tidak melakukannya,
kemalasan menghampiri dan bahkan menguasai diriku.
Tampaknya aku ditakdirkan untuk tidak ikut Akan
tetapi, sungguh aku merasakan penderitaan batin sejak Rasulullah saw.
meninggalkan Madinah. Bila aku keluar rumah, maka di jalan-jalan aku merasakan
keterkucilan diri sebab aku tidak melihat orang kecuali orang-orang yang diragukan
keislamannya. Merekalah orang-orang yang sudah mendapatkan rukhshah atau ijin
Allah Ta’ala untuk uzur atau kalau tidak demikian maka mereka adalah
orang-orang munafik. Padahal, aku merasakan bahwa diriku tidak termasuk
keduanya.
Konon, Rasulullah saw. tidak menyebut-nyebut namaku
sampai ke Tabuk. Setibanya di sana, ketika beliau sedang duduk-duduk bersama
sahabatnya, beliau bertanya, “Apa yang dilakukan Ka’ab bin Malik?”
Seorang dari Bani
Salamah menjawab, “Ya Rasulullah, ia ujub pada keadaan dan dirinya!” Mu’az bin
Jabal menyangkal, “Buruk benar ucapanmu itu! Demi Allah, ya Rasulullah, aku
tidak pernah mengerti melainkan kebaikannya saja!”Rasulullahsaw. hanya terdiam
saja.
Beberapa waktu setelah berlalu, aku mendengar
Rasulllah saw. kembali dari kancah jihad Tabuk. Ada dalam pikiranku berbagai
desakan dan dorongan untuk membawa alasan palsu ke hadapan Rasulullah saw.,
bagaimana caranya supaya tidak terkena marahnya? Aku minta pandapat dari
beberapa orang keluargaku yang terkenal berpikiran baik. Akan tetapi, ketika
aku mendengar Nabi saw., segera tiba di Madinah, lenyaplah semua pikiran jahat
itu. Aku merasa yakin bahwa aku tidak akan pernah menyelamatkan diri dengan
kebatilan itu sama sekali. Maka, aku bertekad bulat akan menemui Rasulullah
saw. dan mengatakan dengan tidak sebenarnya.
Pagi-pagi, Rasulullah saw. memasuki kota Madinah.
Sudah menjadi kebiasaan, kalau beliau kembali dari suatu perjalanan, pertama
masuk ke masjid dan shalat dua rakaat. Demikian pula usai dari Tabuk, selesai
shalat beliau kemudian duduk melayani tamu-tamunya. Lantas, berdatanganlah
orang-orang yang tidak ikut perang Tabuk dengan membawa alasan masing-masing
diselingi sumpah palsu untuk menguatkan alasan mereka. Jumlah mereka kira-kira
delapan puluhan orang. Rasulullah saw. menerima alasan lahir mereka; dan mereka
pun memperbaharui baiat setia mereka. Beliau memohonkan ampunan bagi mereka dan
menyerahkan soal batinnya kepada Allah. Tibalah giliranku, aku datang
mengucapkan salam kepada beliau. Beliau membalas dengan senyuman pula, namun
jelas terlihat bahwa senyuman beliau adalah senyuman yang memendam rasa marah.
Beliau kemudian berkata, “Kemarilah!”
Aku pun menghampirinya, lalu duduk di hadapannya.
Beliau tiba-tiba bertanya, “Wahai Ka’ab, mengapa dirimu tidak ikut? Bukankah
kau telah menyatakan baiat kesetianmu?”
Aku menjawab, “Ya Rasulullah! Demi Allah. Kalau duduk di hadapan penduduk bumi yang lain, tentulah aku akan berhasil keluar dari amarah mereka dengan berbagai alasan dan dalil lainnya. Namun, demi Allah. Aku sadar kalau aku berbicara bohong kepadamu dan engkau pun menerima alasan kebohonganku, aku khawatir Allah akan membenciku.
Kalau kini aku bicara jujur, kemudian karena itu engkau marah kepadaku, sesungguhnya aku berharap Allah akan mengampuni kealpaanku. Ya Rasululah saw., demi Allah, aku tidak punya uzur. Demi Allah, keadaan ekonomiku aku tidak pernah stabil dibanding tatkala aku mengikutimu itu!”
Rasulullah berkata, “Kalau begitu, tidak salah lagi. Kini, pergilah kau sehingga Allah menurunkan keputusan-Nya kepadamu!”
Aku menjawab, “Ya Rasulullah! Demi Allah. Kalau duduk di hadapan penduduk bumi yang lain, tentulah aku akan berhasil keluar dari amarah mereka dengan berbagai alasan dan dalil lainnya. Namun, demi Allah. Aku sadar kalau aku berbicara bohong kepadamu dan engkau pun menerima alasan kebohonganku, aku khawatir Allah akan membenciku.
Kalau kini aku bicara jujur, kemudian karena itu engkau marah kepadaku, sesungguhnya aku berharap Allah akan mengampuni kealpaanku. Ya Rasululah saw., demi Allah, aku tidak punya uzur. Demi Allah, keadaan ekonomiku aku tidak pernah stabil dibanding tatkala aku mengikutimu itu!”
Rasulullah berkata, “Kalau begitu, tidak salah lagi. Kini, pergilah kau sehingga Allah menurunkan keputusan-Nya kepadamu!”
Aku pun pergi diikuti oleh orang-orang Bani Salamah.
Mereka berkata kepada, “Demi Allah. Kami belum pernah melihatmu melakukan dosa
sebelum ini. Kau tampaknya tidak mampu membuat-buat alasan seperti yang lain,
padahal dosamu itu sudah terhapus oleh permohonan ampun Rasulullah!”
Mereka terus saja menyalahkan tindakanku itu hingga
ingin rasanya aku kembali menghadap Rasullah saw. untuk membawa alasan palsu,
sebagaimana orang lain melakukannya.
Aku bertanya kapada mereka, “Apakah ada orang yang senasib denganku?”
Mereka menjawab, “Ya! Ada dua orang yang jawabannya sama dengan apa yang kau perbuat. Sekarang mereka berdua juga mendapat keputusan yang sama dari Rasulullah sebagaimana keadaanmu sekarang!”
Aku bertanya kapada mereka, “Apakah ada orang yang senasib denganku?”
Mereka menjawab, “Ya! Ada dua orang yang jawabannya sama dengan apa yang kau perbuat. Sekarang mereka berdua juga mendapat keputusan yang sama dari Rasulullah sebagaimana keadaanmu sekarang!”
Aku bertanya lagi, “Siapakah mereka itu?”
Mereka menjawab, “Murarah bin Rabi’ah Al-Amiri dan
Hilal bin Umayah Al-Waqifi.”
Mereka menyebutkan dua nama orang shalih yang pernah ikut dalam perang Badr dan yang patut diteladani. Begitu mereka menyebutkan dua nama orang itu, aku bergegas pergi menemui mereka.
Mereka menyebutkan dua nama orang shalih yang pernah ikut dalam perang Badr dan yang patut diteladani. Begitu mereka menyebutkan dua nama orang itu, aku bergegas pergi menemui mereka.
Tak lama setelah itu, aku mendengar Rasululah melarang
kaum muslimin berbicara dengan kami bertiga, di antara delapan puluhan orang
yang tidak ikut dalam perang tersebut.
Kami mengucilkan diri dari masyarakat umum. Sikap mereka sudah lain kapada kami sehingga rasanya aku hidup di suatu negeri yang lain dari negeri yang aku kenal sebelumnya. Kedua rekanku itu mendekam di rumah masing-masing menangisi nasib dirinya, tetapi aku yang paling kuat dan tabah di antara mereka. Aku keluar untuk shalat jamaah dan keluar masuk pasar meski tidak seorang pun yang mau berbicara denganku atau menanggapi bicaraku. Aku juga datang ke majlis Rasullah saw. sesudah beliau shalat. Aku mengucapkan salam kepada beliau, sembari hati kecilku bertanya-tanya memperhatikan bibir beliau, “Apakah beliau menggerakkan bibirnya menjawab salamku atau tidak?”
Aku juga shalat dekat sekali dengan beliau. Aku mencuri pandang melihat pandangan beliau. Kalau aku bangkit mau shalat, ia melihat kepadaku. Namun, apabila aku melihat kepadanya, ia palingkan mukanya cepat-cepat. Sikap dingin masyarakat kepadaku terasa lama sekali. Pada suatu hari, aku mengetuk pintu pagar Abu Qaradah, saudara misanku dan ia adalah saudara yang paling aku cintai. Aku mengucapkan salam kepadanya, tetapi demi Allah, ia tidak menjawab salamku. Aku menegurnya, “Abu Qatadah! Aku mohon dengan nama Allah, apakah kau tahu bahwa aku mencintai Allah dan Rasul-Nya?”
Kami mengucilkan diri dari masyarakat umum. Sikap mereka sudah lain kapada kami sehingga rasanya aku hidup di suatu negeri yang lain dari negeri yang aku kenal sebelumnya. Kedua rekanku itu mendekam di rumah masing-masing menangisi nasib dirinya, tetapi aku yang paling kuat dan tabah di antara mereka. Aku keluar untuk shalat jamaah dan keluar masuk pasar meski tidak seorang pun yang mau berbicara denganku atau menanggapi bicaraku. Aku juga datang ke majlis Rasullah saw. sesudah beliau shalat. Aku mengucapkan salam kepada beliau, sembari hati kecilku bertanya-tanya memperhatikan bibir beliau, “Apakah beliau menggerakkan bibirnya menjawab salamku atau tidak?”
Aku juga shalat dekat sekali dengan beliau. Aku mencuri pandang melihat pandangan beliau. Kalau aku bangkit mau shalat, ia melihat kepadaku. Namun, apabila aku melihat kepadanya, ia palingkan mukanya cepat-cepat. Sikap dingin masyarakat kepadaku terasa lama sekali. Pada suatu hari, aku mengetuk pintu pagar Abu Qaradah, saudara misanku dan ia adalah saudara yang paling aku cintai. Aku mengucapkan salam kepadanya, tetapi demi Allah, ia tidak menjawab salamku. Aku menegurnya, “Abu Qatadah! Aku mohon dengan nama Allah, apakah kau tahu bahwa aku mencintai Allah dan Rasul-Nya?”
Ia diam. Aku mengulangi permohonanku itu, namun ia
tetap terdiam. Aku mengulangi permohonanku itu, namun ia tetap terdiam. Aku
mengulanginya sekali lagi, tapi ia hanya menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih
tahu!”
Air mataku tidak tertahankan lagi. Kemudian aku
kembali dengan penuh rasa kecewa.
Pada suatu hari, aku berjalan-jalan ke pasar kota Madinah. Tiba-tiba datanglah orang awam dari negeri Syam. Orang itu biasanya mengantarkan dagangan pangan ke kota Madinah. Ia bertanya, “Siapakah yang mau menolongku menemui Ka’ab bin Malik?”
Pada suatu hari, aku berjalan-jalan ke pasar kota Madinah. Tiba-tiba datanglah orang awam dari negeri Syam. Orang itu biasanya mengantarkan dagangan pangan ke kota Madinah. Ia bertanya, “Siapakah yang mau menolongku menemui Ka’ab bin Malik?”
Orang-orang di pasar itu menunjuk kepadaku, lalu orang
itu datang kepadaku dan menyerahkan sepucuk surat kepadaku dan menyerahkan
sepucuk surat dari raja Ghassan. Setelah kubuka, isinya sebagai berikut, “…
Selain dari itu, bahwa sahabatmu sudah bersikap dingin terhadapmu. Allah tidak
menjadikan kau hidup terhina dan sirna. Maka, ikutlah dengan kami di Ghassan,
kamu akan menghiburmu!”
Hatiku berkata ketika membaca surat itu, “Ini juga
salah satu ujian!” Lalu aku memasukkan surat itu ke dalam tungku dan
membakarnya.
Pada hari yang ke-40 dari pengasinganku di kampung
halaman sendiri, ketika aku menanti-nantikan turunnya wahyu tiba-tiba datanglah
kepadaku seorang pesuruh Rasulullah saw. menyampaikan pesannya, “Rasulullah
memerintahkan kepadamu supaya kamu menjauhi istrimu!”
Aku semakin sedih, namun aku juga semakin pasrah kepada Allah, hingga terlontar pertanyaanku kepadanya, “Apakah aku harus menceraikannya atau apa yang akan kulakukan?”
Ia menjelaskan, “Tidak. Akan tetapi, kamu harus menjauhkan dirimu darinya dan menjauhkannya dari dirimu!”
Aku semakin sedih, namun aku juga semakin pasrah kepada Allah, hingga terlontar pertanyaanku kepadanya, “Apakah aku harus menceraikannya atau apa yang akan kulakukan?”
Ia menjelaskan, “Tidak. Akan tetapi, kamu harus menjauhkan dirimu darinya dan menjauhkannya dari dirimu!”
Kiranya Rasulullah juga sudah mengirimkan pesannya
kepada dua sahabatku yang bernasib sama. Aku langsung memerintahkan kepada
istriku, “Pergilah kau kepada keluargamu sampai Allah memutuskan hukumnya
kepada kita!”
Istri Hilal bin Umaiyah datang menghadap Rasulullah
saw. lalu ia bertanya, “Ya Rasulullah, sebenarnya Hilal bin Umaiyah seorang
yang sudah sangat tua, lagi pula ia tidak memiliki seorang pembantu. Apakah ada
keberatan kalau aku melayaninya di rumah?”
Rasulullah saw. menjawab, “Tidak! Akan tetapi ia tidak boleh mendekatimu!”
Istri Hilal menjelaskan, “Ya Rasulullah! Ia sudah tidak bersemangat pada yang itu lagi. Demi Allah, yang dilakukannya hanya menangisi dosanya sejak saat itu hingga kini!”
Ada seorang familiku yang juga mengusulkan, “Coba minta izin kepada Rasulullah supaya istrimu melayai dirimu seperti halanya istri Hilal bin Umayah!”
Aku menjawab tegas, “Tidak Aku tidak akan minta izin kepada Rasulullah saw. tentang istriku. Apa katanya kelak, sedangkan aku masih muda?”
Rasulullah saw. menjawab, “Tidak! Akan tetapi ia tidak boleh mendekatimu!”
Istri Hilal menjelaskan, “Ya Rasulullah! Ia sudah tidak bersemangat pada yang itu lagi. Demi Allah, yang dilakukannya hanya menangisi dosanya sejak saat itu hingga kini!”
Ada seorang familiku yang juga mengusulkan, “Coba minta izin kepada Rasulullah supaya istrimu melayai dirimu seperti halanya istri Hilal bin Umayah!”
Aku menjawab tegas, “Tidak Aku tidak akan minta izin kepada Rasulullah saw. tentang istriku. Apa katanya kelak, sedangkan aku masih muda?”
Akhirnya, hari-hari selanjutnya aku hidup seorang diri
di rumah. Lengkaplah bilangan malam sejak orang-orang dicegah berbicara
denganku menjadi 50 hari 50 malam. Pada waktu sedang shalat subuh di suatu pagi
dari malam yang ke-50 ketika aku sedang dudung berdzkir minta ampun dan mohon
dilepaskan dari kesempitan hidup dalam alam yang luas ini, tiba-tiba aku
mendengar teriakan orang-orang memanggil namaku. ‘Wahai Ka’ab bin Malik,
bergembiralah! Wahai Ka’ab bin Malik, bergembiralah!”
Mendengar berita itu aku langsung sujud memanjatkan
syukur kepada Allah. Aku yakin pembebasan hukuman telah dikeluarkan. Aku yakin,
Allah telah menurunkan ampunan-Nya.
Rasulullah menyampaikan berita itu kepada shahabat-shahabatnya seusai shalat shubuh bahwa Allah telah mengampuni aku dan dua orang shahabatku. Berlomba-lombalah orang mendatangi kami, hendak menceritakan berita germbira itu. Ada yang datang dengan berkuda, ada pula yang datang dengan berlari dari jauh mendahului yang berkuda. Sesudah keduanya sampai di hadapanku, aku berikan kepada dua orang itu kedua pakaian yang aku miliki. Demi Allah, saat itu aku tidak memiliki pakaian kecuali yang dua itu.
Rasulullah menyampaikan berita itu kepada shahabat-shahabatnya seusai shalat shubuh bahwa Allah telah mengampuni aku dan dua orang shahabatku. Berlomba-lombalah orang mendatangi kami, hendak menceritakan berita germbira itu. Ada yang datang dengan berkuda, ada pula yang datang dengan berlari dari jauh mendahului yang berkuda. Sesudah keduanya sampai di hadapanku, aku berikan kepada dua orang itu kedua pakaian yang aku miliki. Demi Allah, saat itu aku tidak memiliki pakaian kecuali yang dua itu.
Aku mencari pinjaman pakaian untuk menghadap Rasullah.
Ternyata aku telah disambut banyak orang dan dengan serta merta mereka
mengucapkan selamat kepadaku. Demi Allah, tidak seorang pun dari muhajirin yang
berdiri dan memberi ucapan selamat selain Thal’ah. Sikap Thalhah itu tak
mungkin aku lupakan. Sesudah aku mengucapkan salam kepada Rasulullah, mukanya
tampak cerah dan gembira, katanya kemudian, “Bergembiralah kau atas hari ini!
Inilah hari yang paling baik bagimu sejak kau dilahirkan oleh ibumu!”
“Apakah dari Allah ataukah dari engkau ya Rasulullah?”
tanyaku sabar.
“Bukan dariku! Pengampunan itu datangnya dari Allah!” jawab Rasul saw.
Demi Allah, aku belum pernah merasakan besarnya nikmat Allah kepadaku sesudah Dia memberi hidayah Islam kepadaku, lebih besar bagi jiwaku daripada sikap jujurku kepada Rasulullah saw.”
“Bukan dariku! Pengampunan itu datangnya dari Allah!” jawab Rasul saw.
Demi Allah, aku belum pernah merasakan besarnya nikmat Allah kepadaku sesudah Dia memberi hidayah Islam kepadaku, lebih besar bagi jiwaku daripada sikap jujurku kepada Rasulullah saw.”
Ka’ab lalu membaca ayat pengampunannya itu dengan
penuh haru dan syahdu, sementara air matanya berderai membasahi kedua pipinya.
“Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan
taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal
bumi itu luas, dan jiwa mereka pun telah sempit (pula terasa) oleh mereka,
serta telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah melainkan
kepada-Nya saja. Kemudian, Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam
taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Menerima taubat lagi Maha
Penyayang.” (At-Taubah:118)
Dikutip dari Buku “Yang Berguguran di Jalan Dakwah”
karya Fathi Yakan
******
******
Mencoba hubungkan kisah Ka’ab bin Malik dengan
kehidupan dakwah kita saat ini. Ka’ab absen dalam peran TABUK, sedangkan kita
absen dalam kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan amanah-amanah kita dalam
dakwah. Perang dan amanah. Keduanya adalah bagian dari dakwah. Tapi
ikhwahfillah,, kita belum diajak berperang seperti Ka’ab yang menjadikan nyawa
sebagai taruhan. Kita berbicara tentang amanah-amanah dakwah yang dibebankan
diatas pundak kita atas gelar “aktivis dakwah kampus” yang disandang. Akitivis Dakwah
Kampus.. Ah, Keren sekali gelar itu.. Tapi apakah, sikap dan karakter diri
sepadan untuk menyandang gelar itu? Kita (terlebih saya) yang memiliki
frekuensi iman yang katakanlah labil, harus benar-benar mampu mentaubati diri..
Mengambil hikmah yang mendalam dari kisah sahabat nabi bernama Ka’ab bin Malik
saat futur melandanya.
Mari bercermin pada Ka’ab bin Malik..
Ka’ab harus membayar mahal atas kefuturan yang
melandanya, dikucilkan dari peradaban dan dijauhkan dari istrinya sebagai
penyejuk hati. Lalu kita yang kadang dilanda badai futur, kadang malah memilih
menjauhkan diri dari jama’ah, Bersikap acuh terhadap amanah yang telah
dipercayakan di pundak, atau bahkan bersikap manja dan bahkan kekanak-kanakan.
Mari bercermin pada Ka’ab bin Malik..
Ka’ab bukan termasuk golongan orang munafik yang
mengudzurkan dirinya untuk tidak ikut perang dengan berbagai alasan. Tetapi
beliau jujur kepada Rasulullah menyadari kesalahannya dan bertaubat. Beliau
futur, tapi segera bangkit dari kondisi futurnya dan ikhlas menerima hukuman
apapun. Bagaimana dengan diri kita? Apakah kita akan mengudzurkan diri kita
dengan berbagai alasan ketika kita diberi amanah, padahal alasan sebenarnya
karena kemalasan kita. Apakah kita akan menyalahgunakan kepandaian kita untuk
membuat-buat alasan. Apakah kita sering memaklumkan diri tidak datang syuro
tanpa alasan yang syar’i karena kita malas atau mendahulukan hal lain yang
tidak penting. Atau mungkin datang tapi sengaja telat karena menunda-nunda
keberangkatannya tanpa ada udzur apapun?
Padahal, dalam sebuah ayat Al Qur’an, kita
diperintahkan untuk berangkat jihad dalam keadaan merasa berat maupun ringan.
Berangkatlah kamu baik dalam keadaan
merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di
jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.
Kalau yang kamu serukan kepada mereka itu keuntungan yang mudah diperoleh dan perjalanan yang tidak seberapa jauh, pastilah mereka mengikutimu, tetapi tempat yang dituju itu amat jauh terasa oleh mereka. Mereka akan bersumpah dengan (nama) Allah : “Jikalau kami sanggup tentulah kami berangkat bersama-samamu.” Mereka membinasakan diri mereka sendiri dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang yang berdusta.
Kalau yang kamu serukan kepada mereka itu keuntungan yang mudah diperoleh dan perjalanan yang tidak seberapa jauh, pastilah mereka mengikutimu, tetapi tempat yang dituju itu amat jauh terasa oleh mereka. Mereka akan bersumpah dengan (nama) Allah : “Jikalau kami sanggup tentulah kami berangkat bersama-samamu.” Mereka membinasakan diri mereka sendiri dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang yang berdusta.
Semoga Allah mema`afkanmu. Mengapa kamu
memberi izin kepada mereka (untuk tidak pergi berperang), sebelum jelas bagimu
orang-orang yang benar (dalam keuzurannya) dan sebelum kamu ketahui orang-orang
yang berdusta?
Orang-orang yang beriman kepada Allah dan
hari kemudian, tidak akan meminta izin kepadamu untuk tidak ikut berjihad
dengan harta dan diri mereka. Dan Allah mengetahui orang-orang yang bertakwa.
Sesungguhnya yang akan meminta izin
kepadamu, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari
kemudian, dan hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam
keraguannya.
Dan jika mereka mau berangkat, tentulah
mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu, tetapi Allah tidak
menyukai keberangkatan mereka, maka Allah melemahkan keinginan mereka. Dan
dikatakan kepada mereka: “Tinggallah kamu bersama orang-orang yang tinggal
itu.”
Jika mereka berangkat bersama-sama kamu,
niscaya mereka tidak menambah kamu selain dari kerusakan belaka, dan tentu
mereka akan bergegas maju ke muka di celah-celah barisanmu, untuk mengadakan
kekacauan di antara kamu; sedang di antara kamu ada orang-orang yang amat suka
mendengarkan perkataan mereka. Dan Allah mengetahui orang-orang yang zalim.
Sesungguhnya dari dahulupun mereka telah
mencari-cari kekacauan dan mereka mengatur pelbagai macam tipu daya untuk
(merusakkan)mu, hingga datanglah kebenaran (pertolongan Allah) dan menanglah
agama Allah, padahal mereka tidak menyukainya.
Di antara mereka ada orang yang berkata: “Berilah saya keizinan (tidak pergi berperang) dan janganlah kamu menjadikan saya terjerumus dalam fitnah.” Ketahuilah bahwa mereka telah terjerumus ke dalam fitnah. Dan sesungguhnya Jahannam itu benar-benar meliputi orang-orang yang kafir. (QS.At-Taubah:41-49)
Di antara mereka ada orang yang berkata: “Berilah saya keizinan (tidak pergi berperang) dan janganlah kamu menjadikan saya terjerumus dalam fitnah.” Ketahuilah bahwa mereka telah terjerumus ke dalam fitnah. Dan sesungguhnya Jahannam itu benar-benar meliputi orang-orang yang kafir. (QS.At-Taubah:41-49)
Mari bercermin pada Ka’ab…
Ketika ditegur atas kekhilafannya, Ka’ab ikhlas
menerima dan berusaha memperbaiki kesalahan.. Bagaimana pula sikap kita jika
kita ditegur qiyadah atas kekhilafan kita? Apakah kita akan ikhlas menerimanya
dan berusaha memperbaikinya serta bersikap tajarud seperti halnya Ka’ab ataukah
kita justru mutung, merasa kecewa, merasa bahwa qiyadah tidak memperhatikan,
merasa sendiri dan akhirnya keluar dari jalan ini? Tanya hati *menunduk*.
Jangan, jangan seperti itu.. Mohon dengan sangat. Kita
boleh merasa lelah dan jenuh seperti apa yang mungkin Ka’ab rasakan. Tapi
sungguh, syaitan cerdas sekali memanfaatkan kelelahan dan kejenuhan kita,
membuat kita merasa harus, atau mempermisikan diri di jalan ini. Ikhwahfillah,
ada banyak alasan untuk mundur, kita semua tahu itu.. Mulai dari ketersepian di
arena perjuangan, merasa diri tidak dilibatkan, merasa lelah atas amanah yang
di percayakan, dengan gugatan “kok, gue lagi gue lagi?”, atau …. *mention by
ourselves* ah, banyaklah..
Tapi ikhwahfillah, kita
hanya perlu satu alasan untuk bertahan di medan ini, yaitu ALlah SWT.. ALlah..
Satu tujuan kita.. Kita ada dalam barisan ini bukan untuk ketua LDK, bukan
untuk ketua Keputrian, bukan prestise atau
bukan sebagai sarana tebar pesona bagi lawan jenis. Karena jika dakwah hanya
ditujukan untuk hal-hal demikian, maka yakinlah kelelahan itu akan
berlipat-lipat beratnya, rasa kecewa, malas, mutung, atau rasa-rasa yang
melemahkan akan sangat mudah sekali merasuk ke dalam hati, menebarkan virus
futur agar semakin tumbuh subur. Maka ALlah lah satu jawaban kita, tak akan ada
lagi hal-hal picisan yang menjadi penghalang kita untuk melanglang di arena
perjuangan risalah dakwah ini.. Semuanya indah, jika fillah, lilah, bilah..
ALlah
Paham bahwa sebagai seorang aktivis, futur itu hal
yang mungkin saja sering menjadi ujian bagi kita. Tapi mari lewati ujian ini
dengan bijaksana. Jangan ketika kita merasa futur lalu banyak yang jadi tumbal;
binaan mentoringlah korbannya, amanah dakwah menjadi terbengkalai, ukhuwah
semakin merenggang atau nilai-nilai akademis jadi terjun bebas. *ohh no*
*istighfar*
Ketika futur, jangan pernah menjauhi jama’ah, justru
sering-seringlah bersama mereka.. Jika kita belum bisa mewarnai lingkungan kita
dengan kebaikan dan kebermanfaatan, minimal jangan tulari mereka dengan
kefuturan kita. Pastikan diri kita laksanakan ibadah wajib dan mengencangkan
yang sunnah..
Bagaimanapun, futur pasti berlalu.. Insya Allah..
*Allah, jaga dan kokohkan pijakan kami
Oleh: Asti Saraswati (Alumni DKM TM 2009)
Oleh: Asti Saraswati (Alumni DKM TM 2009)
0 komentar:
Posting Komentar