Tidak terasa, tahun 2012 telah mencapai akhirnya. Sudah
hampir 365 hari waktu berlalu, kini dunia akan segera menyambut tahun baru
2013. Bagi sebagian orang, momentum seperti ini jelas tidak boleh dilewatkan.
Momentum pergantian tahun seringkali dirayakan dengan berbagai tujuan, entah
itu merayakan hilangnya tahun mereka yang sial atau ingin menyambut tahun baru
yang (semoga saja) lebih cerah baik untuk diri mereka sendiri, keluarga, maupun
negara.
Sayangnya, apa yang dilakukan dalam menyambut tahun baru ini
seringkali berlebihan, bahkan berujung kemaksiatan. Pesta pora yang
menghabiskan dana ratusan juta, hura-hura, bahkan sampai seks bebas mewarnai
perayaan tahun baru ini. Hal yang sama selalu terjadi berulang kali tiap tahun,
yang ironisnya sama sekali tidak ada perhatian berarti dari pihak yang
berwenang. Alih-alih, mereka justru ikut terlarut dalam euforia semu tahun baru
ini.
Masyarakat pun banyak yang terjebak. Mulai dari anak-anak
muda sampai yang sudah berkeluarga, perayaan tahun baru ini seolah menjadi
sesuatu yang istimewa dan harus dirayakan, meski mereka sama sekali tidak tahu
apa makna di balik perayaan tahun baru ini. Dengan kata lain, hanya ikut-ikutan
saja.
Tradisi Pagan
Pergantian hari, bulan, dan tahun, sebenarnya bukan suatu
hal yang istimewa. Hal itu hanyalah indikator waktu saja. Namun, dalam
kaitannya tahun baru Masehi, masalah pergantian tahun ini tidak terlepas dari
kepercayaan tertentu, yaitu tradisi dari para penganut Paganisme (penyembah
kekuatan alam).
Penetapan 1 Januari sebagai tahun baru sendiri dimulai oleh
penguasa Romawi, Julius Caesar. Pada tahun 46 SM, Julius Caesar membuat
ketetapan itu, dan orang-orang Romawi mempersembahkan tanggal itu pada Dewa
Janus, yang dalam legenda Romawi merupakan dewa bermuka dua, penanda awal dan
akhir, pintu, dan gerbang. Wajahnya sendiri disebutkan menghadap ke masa lalu
dan masa depan. Sementara nama januari
sendiri diambil dari nama Janus itu sendiri.
Januari ditempatkan setelah Desember. Hal ini karena pada
bulan Desember terdapat ritual puncak dari kepercayaan Pagan, yaitu pada Winter Solstice (Titik Balik Matahari)
yang berlangsung selama 6 hari. Akhir dari ritual puncak inilah yang dianggap
sebagai awal baru, yang pada akhirnya ditetapkan sebagai tahun baru.
Tradisi Tahun Baru beragam di berbagai negara. Contohnya di
Brazil. Pada tengah malam setiap tanggal 1 Januari, orang-orang Brazil
berbondong-bondong menuju pantai dengan pakaian putih bersih. Mereka menaburkan
bunga di laut, mengubur mangga, pepaya dan semangka di pasir pantai sebagai
tanda penghormatan terhadap sang dewa Lemanja—Dewa laut yang terkenal dalam
legenda negara Brazil.
Seperti halnya di Brazil, orang Romawi kuno pun saling
memberikan hadiah potongan dahan pohon suci untuk merayakan pergantian tahun.
Belakangan, mereka saling memberikan kacang atau koin lapis emas dengan gambar
Dewa Janus.
Maka dari sini saja, bisa dilihat bahwa penetapan tahun baru
yang bertepatan dengan tanggal 1 Januari ini terpengaruh dari keyakinan kaum
Paganis dan ritual-ritual keagamaan mereka, tidak bebas nilai.
Penuh Kemaksiatan dan
Kepentingan
Terlepas dari fakta sejarah bahwa tahun baru itu berasal
dari pandangan hidup tertentu, perayaan tahun baru sendiri lebih didominasi
oleh kemaksiatan. Nyaris tidak ada hal positif yang didapatkan dari perayaan
tahun baru yang biasa ditemukan, termasuk di Indonesia.
Malam tahun baru menjadi malam para muda-mudi untuk
melampiaskan hasrat bermaksiat mereka. Terjadi hampir di semua tempat, fenomena
seks bebas yang melibatkan anak-anak muda pada malam tahun baru. Bukan hanya
itu saja, pesta hura-hura, konser musik penuh mudharat, sampai pesta narkoba
pun senantiasa terjadi. Fenomena-fenomena ini nyaris tidak bisa dibendung.
Menurut ustadz Farid Wadjdi, sebagaimana dikutip oleh
itoday.net, fenomena hura-hura yang biasa terjadi pada malam tahun baru ini
menandakan bahwa Kapitalisme semakin dominan. Kapitalisme mengutamakan
kepentingan kapital, di mana ada dorongan kuat untuk digelar acara-acara
hedonis dan hura-hura. Di balik acara tahun baru ada kepentingan bisnis,
mendorong masyarakat untuk membelanjakan uangnya sebanyak-banyaknya.
Yang mengkhawatirkan lagi, sangat sulit untuk membendung
gaya hidup yang hedonis dan liar ini akibat dari maraknya sosialisasi dan blow-up gaya hidup liberal dan hedon di
media massa. Saking maraknya, himbauan dari para ulama pun kalah terdengar dari
serbuan media massa, yang punya kepentingan kapitalis di belakangnya. Bahkan
peran ulama pun mandul, akibat dari sistem sekuler yang menguasai negeri ini
yan mengakibatkan agama tidak punya peran dalam ruang publik.
Selain itu, ada kepentingan lain dari maraknya blow-up tentang perayaan malam tahun
baru ini, yaitu proyek sekulerisasi dan penjauhan anak-anak muda dari Islam.
Memanfaatkan pengaruh kuat media massa, mereka yang berkepentingan di
belakangnya memanfaatkan momentum ini untuk mempropagandakan pikiran-pikiran
sekuler dan hedon pada anak-anak muda.
Dengan mengarahkan para pemuda untuk mengambil gaya hidup
yang bebas, tanpa aturan, foya-foya, dan hura-hura sesuka hati, tentu saja para
pemuda ini akan semakin sulit menerima ajaran Islam, karena pola pikirnya sudah
terbentuk oleh pola pikir hedonis itu. Dan sebagaimana godaan dunia lainnya,
meninggalkannya akan amat sulit, apalagi untuk mereka yang masih berjiwa muda.
Inilah yang diincar oleh kaum kafir penjajah, merusak generasi muda umat Islam.
Lindungi Akidah Dengan Penerapan Islam Secara Kaffah
Jelaslah bahwa perayaan tahun baru ini merupakan budaya
kafir yang haram untuk diikuti oleh umat Islam dan penuh kepentingan busuk
untuk merusak umat Islam di belakangnya. Rasulullah Shalallahu ’alaihi wa
Sallam bersabda:
“Barangsiapa
menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dari golongan mereka.” (HR Abu
Dawud)
Dengan mengikuti perayaan tahun baru, yang jelas-jelas
merupakan tradisi kaum kafir Paganis, itu sama saja bertasyabbbuh pada mereka, yang berarti haram hukumnya bagi kaum
muslimin untuk berpartisipasi di dalamnya. Selain itu, hari raya bagi umat
Islam sudah jelas, yaitu Idul Fithri dan Idul Adha, selain itu tidak ada.
Dari Anas bin Mâlik radhiyallahu ’anhu beliau
berkata : Rasūlullâh Shallallahu ’alahi wa Sallam tiba
di Madînah dan mereka memiliki dua hari yang mereka bermain-main di dalamnya.
Lantas beliau bertanya, ”dua hari apa ini?”. Mereka menjawab, ”Hari dahulu kami
bermain-main di masa jahiliyah.” Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Sallam mengatakan : ”Sesungguhnya
Allah telah menggantikan kedua hari itu dengan dua hari yang lebih baik bagi
kalian, yaitu hari Idul Adha dan Idul Fithri.” (HR Ahmad, Abu Dawud)
Umar bin Khaththab ra menyatakan sebagaimana dikutip oleh
Imam Baihaqi: ”Jauhilah hari-hari perayaan musuh-musuh Allôh.”
Maka sudah seharusnya
kaum muslimin untuk tidak terus-terusan latah dengan mengikuti tradisi perayaan
tahun baru ini. Selain memang berasal dari tradisi kufur, juga banyak sekali
konspirasi perusakan umat Islam di dalamnya.
Dan untuk
melindungi umat Islam secara keseluruhan dari agenda konspirasi ini secara
keseluruhan, maka sudah seharusnya pihak yang berwenang untuk berperan dalam
mencegah fenomena ini terjadi terus menerus setiap tahun. Sayangnya, fakta
sekarang justru kebalikannya. Pemerintah malah terkesan membiarkan begitu saja
fenomena ini berulang setiap tahunnya. Hal ini, sebagaimana telah disebutkan
sebelumnya, adalah akibat dari diterapkannya sistem sekuler di negeri ini.
Dengan demikian,
maka sudah seharusnya negeri ini menerapkan syariah Islam secara kaffah dalam
naungan Khilafah. Khilafah akan melarang setiap aktivitas yang berpotensi
merusak akidah umat Islam seperti perayaan tahun baru dan propaganda media
massa yang mengarah padanya. Selain itu, Khilafah juga akan mencegah setiap
tindakan kemaksiatan yang mungkin muncul dengan penerapan sistem pergaulan
Islam dan pendidikan akidah yang kuat pada masyarakat, terutama anak-anak muda
yang mayoritas masih labil.
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas dating kepadanya petunjuk dan mengikuti jalannya orang-orang
yang tidakberiman, Kami biarkan ia leluasa dengan kesesatannya kemudian Kami seret ke dalam Jahannam.
Dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS:
An-Nisa’: 115)
Penulis: Andhika Putra Dwijayanto (Alumni DKM TM 2011) (dari berbagai
sumber)
0 komentar:
Posting Komentar