
Ismail pun menyebutkan karena pada faktanya mereka melihat bahwa menjadi anggota legislatif itu menjadi pintu yang paling cepat dan maksimal untuk memupuk kekayaan. Gaji seorang anggota legislatif itu setara dengan gaji jabatan direksi di sebuah bank pemerintah. “Ya bayangkan saja untuk menjadi direktur bank pemerintah itu butuh waktu puluhan tahun bandingkan dengan mencalonkan diri menjadi caleg,” ujarnya. Maka bisa dilihat hampir semua calon anggota legislatif itu menggunakan segala macam cara untuk bisa meraih cita-citanya itu.
Karena melihat fakta menjadi kaya mendadak itulah maka mereka beramai-ramai berusaha agar bisa menjadi anggota legislatif. Padahal kursi yang tersedia relatif tetap sedangkan yang berminat semakin banyak. Maka energi dan uang yang dikeluarkan untuk meraih kursi itu semakin besar. Resiko stres pun semakin besar pula. “Ketidaksiapan mental menghadapi kekalahan itulah sebenarnya faktor utama mengapa mereka stres,” simpul Ismail.
Lebih lanjut Ismail menyebutkan, bagi mereka yang mendapatkan kursi tentu saja akan hitung-hitungan modal dan untung layaknya pengusaha. Ia berusaha untuk menutupi modal yang telah dikeluarkan dan akan mengumpulkan modal lagi untuk pencalonan berikutnya. Karena berfikirnya modal dan untung tentu saja yang diutamakan oleh mereka adalah bagaimana mengkapitalisasikan seluruh kegiatan mereka di dalam parlemen. Baik dengan cara menjual akses politik yang mereka punyai maupun menjual UU dan peraturan-peratuaran yang mereka buat, pasal demi pasal. Dalam kondisi demikian maka apa yang disebut dengan bekerja untuk kepentingan rakyat tentu akan jauh dari fikiran mereka. “Inilah yang disebut siklus uang untuk kekuasaan, kekuasaan untuk uang,” tandasnya.
Ismail pun menyebutkan, sedangkan parpol sendiri hampir tidak berdaya untuk tetap mempertahankan idealismenya dan melakukan kaderisasi dari bawah karena keterbatasan modal dan popularitas. Kepopularan artis pun digunakan sebagai jalan pintas untuk mendulang suara. Sehingga tanpa dikader dari bawah artis langsung menjadi caleg. Parpol menerima ‘siapa saja’ untuk menjadi caleg dari partainya asalkan mandiri dalam mencari modal, tidak dilihat lagi caleg tersebut membawa misinya sendiri. Ketika caleg bekerja sendiri maka ia akan membangun akses sendiri ke pemodal atau sumber dana lain untuk kepentingan dia dan suatu saat akan dikembalikan dalam bentuk lain yang tentu saja menguntungkan pribadi tanpa dipertimbangkan lagi akan merugikan partainya atau tidak, apalagi nasib rakyat.
Wal hasil, yang gagal jadi stres yang yang mendapatkan kursi jadi koruptor. Rakyat diperhatikan hanya menjelang perebutan kursi saja. Setelah duduk, rakyatpun dilupakan.”Ini merupakan cerminan bahwa sistem demokrasi itu telah gagal,” tandas Ridwan. (mediaumat.com)
Karena melihat fakta menjadi kaya mendadak itulah maka mereka beramai-ramai berusaha agar bisa menjadi anggota legislatif. Padahal kursi yang tersedia relatif tetap sedangkan yang berminat semakin banyak. Maka energi dan uang yang dikeluarkan untuk meraih kursi itu semakin besar. Resiko stres pun semakin besar pula. “Ketidaksiapan mental menghadapi kekalahan itulah sebenarnya faktor utama mengapa mereka stres,” simpul Ismail.
Lebih lanjut Ismail menyebutkan, bagi mereka yang mendapatkan kursi tentu saja akan hitung-hitungan modal dan untung layaknya pengusaha. Ia berusaha untuk menutupi modal yang telah dikeluarkan dan akan mengumpulkan modal lagi untuk pencalonan berikutnya. Karena berfikirnya modal dan untung tentu saja yang diutamakan oleh mereka adalah bagaimana mengkapitalisasikan seluruh kegiatan mereka di dalam parlemen. Baik dengan cara menjual akses politik yang mereka punyai maupun menjual UU dan peraturan-peratuaran yang mereka buat, pasal demi pasal. Dalam kondisi demikian maka apa yang disebut dengan bekerja untuk kepentingan rakyat tentu akan jauh dari fikiran mereka. “Inilah yang disebut siklus uang untuk kekuasaan, kekuasaan untuk uang,” tandasnya.
Ismail pun menyebutkan, sedangkan parpol sendiri hampir tidak berdaya untuk tetap mempertahankan idealismenya dan melakukan kaderisasi dari bawah karena keterbatasan modal dan popularitas. Kepopularan artis pun digunakan sebagai jalan pintas untuk mendulang suara. Sehingga tanpa dikader dari bawah artis langsung menjadi caleg. Parpol menerima ‘siapa saja’ untuk menjadi caleg dari partainya asalkan mandiri dalam mencari modal, tidak dilihat lagi caleg tersebut membawa misinya sendiri. Ketika caleg bekerja sendiri maka ia akan membangun akses sendiri ke pemodal atau sumber dana lain untuk kepentingan dia dan suatu saat akan dikembalikan dalam bentuk lain yang tentu saja menguntungkan pribadi tanpa dipertimbangkan lagi akan merugikan partainya atau tidak, apalagi nasib rakyat.
Wal hasil, yang gagal jadi stres yang yang mendapatkan kursi jadi koruptor. Rakyat diperhatikan hanya menjelang perebutan kursi saja. Setelah duduk, rakyatpun dilupakan.”Ini merupakan cerminan bahwa sistem demokrasi itu telah gagal,” tandas Ridwan. (mediaumat.com)
0 komentar:
Posting Komentar